Rabu, 05 November 2014

Gatot Subroto



Jenderal Gatot Subroto lahir di Banyumas 10 Oktober 1909, la adalah anak tertua dari Sayid Yudoyuwono. Adik-adiknya ada 7, orang ini sejak anak-anak sudah menunjukkan watak seorang pemimpin. Dia memiliki keberanian, ketegasan, tanggung jawab, dan berpantang akan kesewenangan. Pengalaman tidak manis pernah dialaminya ketika masih bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Karena berkelahi dengan seorang anak Belanda, dia akhirnya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Kasus itu sudah cukup menunjukkan bahwa sejak kecil dirinya sudah memiliki sifat pemberani dan tegas. Di kala orang tidak ada yang berani menantang anak-anak Belanda yang merasa lebih tinggi derajatnya dari kaum pribumi, Gatot Subroto dengan tanpa gentar sedikitpun maju menantang.

Dikeluarkan dari sekolah ELS dia kemudian masuk ke sekolah Holands Inlandse School (HIS). Dari sana, dia akhirnya menyelesaikan pendidikan formalnya. Namun setamat HIS, dia memilih tidak meneruskan pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi, tetapi bekerja sebagai pegawai. Pilihannya menjadi pegawai tersebut ternyata juga tidak memuaskan jiwanya. Dia kemudian keluar dari pekerjaanya dan masuk sekolah militer di Magelang pada tahun 1923. Setelah menyelesaikan pendidikan militer, Gatot pun menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda). Setelah tiga tahun dididik di sekolah militer ini, ia lulus. Dengan pangkat sersan Kelas II KNIL (Tentara Kerajaan Belanda), Gatot ditugaskan di Padang Panjang, Sumatra Barat. Lima tahun kemudian ia dikirim ke Sukabumi, Jawa barat, untuk mengikuti pendidikan marsose, kesatuan militer dengan tugas-tugas khusus, dan yang menuntut keberanian yang lebih dari rata-rata kesatuan lain.
Gatot yang bertubuh kekar dan yang sejak kecil sudah memperlihatkan sifat berani, dengan mudah menyelesaikan pendidikan marsose itu. Setelah selesai, ia ditempatkan di Bekasi dan Cikarang, Jawa Barat, daerah yang pada waktu itu sering dilanda kerusuhan dan bersumber pada tindakan-tindakan para lintah darat. Pemerasan yang mereka lakukan, mengelisahkan masyarakat. Rakyat menderita dan dalam keadaan seperti itu pencurian dan penggarongan merupakan kejadian biasa sehari-hari.
Sersan Marsose Gatot Subroto harus mengamankan daerah itu. Yang bersalah ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Seringkali ia harus melakukan tindakan itu terhadap rakyat kecil yang jelas melanggar hukum, khususnya yang menggaggu keamanan. Perasaannya cukup tertekan, tetapi bagaimanapun hukum harus ditegakkan dan itu adalah tugasnya. Suara hatinya mengatakan bahwa gangguan keamanan itu terjadi karena rakyat sudah sangat menderita, Dengan pertimbangan itu, disamping bertindak tegas ia pun mempunyai cara lain untuk menolong mereka.

Seorang anggota KNIL, terlebih lagi pasukan marsose, dikenakan peraturan-peraturan yang cukup keras. Mereka dilarang bergaul dengan rakyat. Hal itu disengaja oleh pemerintah kolonial agar mereka tidak berpihak kepada bangsanya. Tetapi bagi Gatot, larangan itu tidak sepenuhnya ditaati.
Dengan caranya sendiri, ia berusaha membantu keluarga orang-orang yang terpaksa ditangkap dan dihukumnya. Baginya, pelaksanaan tugas dan perasaan kemanusiaan adalah dua hal yang berbeda. Dan ia ingin melaksanakan dua hal itu sebaik mungkin. Sebagian dari gajinya diberikannya kepada keluarga para korban, sebagai modal agar mereka dapat berdagang kecil-kecilan dengan demikian kehidupan anak-anak mereka tertolong. Cara-cara yang dilakukan Gatot, yang menyalahi peraturan yang ada itu rupanya diketahui oleh komandannya. Karena itu ia seringkali mendapat teguran. Di depan komandannya ia patuh tetapi dibelakang ia tetap melanjutkan bantuannya kepada rakyat kecil walaupun berakibat sebagian biaya sekolah adiknya yang ia tanggung harus dikuranginya.

Dari daerah Bekasi – Cikarang Gatot dipindahkan ke Ambon. Disini ia mengalami pertempuran dengan pasukan Jepang, ketika Perang Pacifik pecah. Pasukan Belanda yang bertahan di daerah ini tidak mampu menahan serangan lawannya yang jauh lebih kuat. Setelah pertahanan Ambon bobol, Gatot menyingkir ke Ujungpandang. Dari situ ia kembali kekota kelahirannya, Banyumas dan hidup sebagai seorang sipil. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan diri sama sekali. Jepang mengetahui siapa Gatot Subroto dan kemampuan apa yang dimilikinya. Karena itu ia diminta untuk mengepalai sebuah Detasemen Polisi. Dengan demikian mulailah ia bertugas dibawah pemerintah Jepang.

Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia serta turut menumpas PKI pada tahun 1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Berpendirian tegas dan memiliki solidaritas yang tinggi, merupakan ciri khas dari Jenderal Gatot Subroto. Pria lulusan Sekolah Militer Magelang masa pemerintahan Belanda, ini paling tidak bisa mentolerir setiap tindak kezaliman, walau oleh siapapun dan kapanpun.

Ketika Perang Dunia ke II bergolak, pasukan Belanda berhasil ditaklukkan pasukan Jepang. Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah pendudukan Belanda beralih jadi kekuasaan pemerintah Kerajaan Jepang. Pada masa Pendudukan Jepang ini, Gatot pun langsung mengikuti pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yakni pendidikan dalam rangka perekrutan tentara pribumi oleh pemerintahan Jepang di Indonesia. Tamat dari pendidikan Peta, dia diangkat pemerintah Jepang menjadi komandan kompi di Sumpyuh, Banyumas dan tidak berapa lama kemudian dinaikkan menjadi komandan batalyon.

Kesertaan Gatot Subroto menjadi anggota KNIL maupun Peta tidaklah mengindikasikan dirinya seorang kaki tangan pihak kolonial atau jiwa kebangsaannya yang rendah. Tapi hal itu hanyalah sebatas pekerjaan yang sudah lumrah zaman itu. Jiwa kebangsaan Gatot Subroto tetap tinggi. Di dalam menjalankan tugasnya sebagai tentara pendudukan, perlakuannya sering terlihat memihak kepada rakyat kecil.

Perlakuan itu bahkan sering diketahui atasannya sehingga dia sering mendapat teguran. Bahkan karena begitu tebalnya perhatian dan solider terhadap kaumnya, sering sebagian dari gajinya disumbangkan untuk membantu keluarga orang hukuman yang ada di bawah pengawasannya. Begitu juga halnya pada masa pendudukan Jepang, dia sering menentang orang Jepang yang bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Terhadap bawahannya, Gatot juga terkenal sebagai seorang pimpinan yang sangat perhatian. Namun walaupun begitu, sebagai militer, tanpa pandang bulu dia juga sangat tegas terhadap anak buahnya yang melanggar disiplin.

Saat kemerdekaan Indonesia, Ia berada di Banyumas ketika kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Maka mulailah masa baru baginya dan juga bagi seluruh bangsanya Sekaligus juga tugas baru. Pada hari-hari pertama sesudah proklamasi itu, para pemuda sibuk melakukan usaha-usaha merebut senjata dari pasukan Jepang sebagai modal untuk mempertahankan kemerdekaan. Gatot pun tak terhidar dari usaha itu. Di Banyumas, ia berhasil mengambil alih kekuasaan kepolisian dan sesudah itu ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan Banyumas. Bersama-sama dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat), ia aktif berunding dengan komandan militer Jepang dalam usaha memperoleh senjata.
Setelah pemerintah mendekritkan pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Banyumas dibentuk sebuah Divisi yang disebut Divisi V. Kolonel Soedirman diangkat menjadi Komandan Divisi dan Gatot menjadi Kepala Siasat. la ikut mendampingi Soedirman dalam pertempuran Ambarawa.
Disini kepemimpinan Gatot semakin teruji. la diangkat menjadi Komandan Sektor. Kepada anak buahnya selalu dikatakannya, ”Jagalah namamu jangan sampai disebut penghianat bangsa”. Dengan cara itu ia membangkitkan semangat tempur anak buahnya.
Prestasi yang dicapai Gatot membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam hierarki militer. Setelah Kolonel Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar, pimpinan Divisi V
diserahkan kepada Kolonel Sutirto. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Kemudian digantikan oleh Gatot Subroto. Sebagai komandan Divisi, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel.
Putra Banyumas yang senang humor ini, terbuka untuk didekati oleh anak buahnya. Dalam Divisi V terdapat kesatuan Tentara Pelajar. Mereka dilatih oleh seorang prajurit bekas KNIL. Sifat kebapakan Gatot sangat dihargai oleh para pelajar tersebut. Pada waktu Agresi Militer I Belanda berlangsung, Markas Divisi dikawal oleh satu peleton Tentara Pelajar. Waktu itu pesawat terbang Belanda sudah beberapa kali mengadakan pengintaian diatas kota Purwokerto, tempat kedudukan Divisi V. Suatu malam, dengan menunggang kuda, tanpa memakai baju, Gatot melakukan inspeksi. Ia berhenti didepan pos penjagaan. Sambil bertolak pinggang ia bertanya kepada pelajar yang menjalankan tugas jaga, ”Apakah anak-anak takut ?”. Komandan jaga menjawab dengan polos, ”Takut, Pak.” Dengan tersenyum sambil menganggukan kepala Gatot bereaksi, ”Ya, baik. Orang yang mengatakan tidak takut itu pembohong. Pak Gatot juga takut.” Dengan pendekatan yang demikian anak-anak Tentara Pelajar menghargai Gatot sebagai bapak mereka. Gatot langsung masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tentara bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan merupakan tentara resmi RI yang dalam perjalanannya kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sejak kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa Perang Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia dipercayai memegang beberapa jabatan penting. Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.

Gatot menikah dalam tahun 1948, dalam usia yang sudah tergolong lanjut, 41 tahun. Gadis pilihannya adalah Supiah yang bertugas dibidang kesehatan. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan.
Dalam tahun 1948 itu karir Gatot semakin meningkat dan dengan demikian tugasnya pun bertambah berat. Menjelang pemberontakan PKI meletus di Madiun, la diangkat menjadi Panglima Corps Polisi Militer (CPM). Pada waktu itu situasi cukup panas. PKI melakukan agitasi-agitasi menuntut supaya Kabinet Hatta dibubarkan. Mereka mengadakan kekacauan di daerah Sala, agar dengan demikian perhatian pemerintah terpusat ke daerah ini sementara mereka mengadakan persiapan-persiapan untuk melancarkan pemberontakan di Madiun. Culik-menculik, bunuh-membunuh terjadi di Sala yang akhirnya melibatkan pasukan-pasukan yang ada di daerah itu dalam pertempuran.
Untuk mengatasi masalah Sala, Panglima Besar beserta Kepala Staf Markas Besar Angkatan Perang dan Panglima Corps Polisi Militer mengadakan rapat Hasil rapat itu ialah mengusulkan kepada pemerintah agar Kolonel Gatot Subroto di angkat menjadi Gubernur Militer untuk daerah Surakarta, Madiun dan Pati. Usui itu diterima dengan baik, Gatot pun segera bertindak. Anggota-anggota Angkatan perang yang meninggalkan Sala segera dipanggil dengan ancaman apabila mereka tidak memenuhi panggilan dalam batas waktu tertentu, akan dipecat.
Dengan tindakan-tindakan yang tegas, keamanan daerah Sala dapat dipulihkan. Tetapi sementara itu, tanggal 18 September 1948, di Madiun pecah pemberontakan. Gubrenur Militer Gatot Subroto segera menyiapkan pasukan-pasukan untuk menumpasnya. Pasukan-pasukan itu digerakan dari arah barat. Dalam waktu singkat pemberontakan Madiun dapat di padamkan.

Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun bergolak yakni pada bulan September 1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan gemilang. Setelah banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda, pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil diperoleh. Pasca pengakuan kedaulatan itu, Gatot Subroto semakin dipercaya mengemban tugas yang lebih tinggi. Dia diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro. Namun karena sesuatu hal Tanggal 17 Oktober 1952 terjadilan demontrasi di depan istana. Pimpinan Angkatan Darat meminta kepada Presiden Sukarno agar Parlemen dibubarkan. Tuntutan itu ditolak.
Ekses-ekses dari Peristiwa 17 Oktober ini merembet ke daerah-daerah. Tanggal 18 Oktober 1952 Panglima Panglima Tentara dan Teritoriun VII, Kolonel Gatot Subroto, didaulat oleh Kepala Staf, Letnan Kolonel Warrow. Ia dituduh secara terang-terangan terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober.
Kejadian itu sangat mengecewakannya. Sebagai militer tua, ia memilih mundur daripada melibatkan diri dalam soal-soal politik. Ia seorang militer profesional, dan baginya tugas adalah tugas. pada tahun 1953, dia sempat mengundurkan diri dari dinas militer. Namun tiga tahun kemudian dia diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad). Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk membina perwira muda adalah dengan menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut, dan Udara, menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).

Lepas dari tugas yang satu, menyusul tugas yang lain. Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer untuk kedua kalinya. Selaku Gubernur Militer, Gatot segera mengatur siasat gerilya, ia berada di daerah pedalaman, daerah gerilya bersama anak buahnya.
Tercatat dalam masa itu, sebuah kisah yang menggambarkan hubungan baik antara Gatot dengan Jenderal Sudirman. Setelah Roem – Royen Statement dikeluarkan, ibukota RI Yogyakarta dikembalikan oleh Belanda. Pimpinan pemerintahan pun segera kembali ke ibukota tetapi Jenderal Soedirman menolak, dengan alasan tidak sampai hati meninggalkan anak buahnya yang masih bergerilya di daerah pedalaman. Pemerintah meminta jasa baik Gatot dan ia pun menyadari bahwa kehadiran Sudirman di Yogyakarta sangat diperlukan dalam rangka menghadapi perundingan dengan Belanda.
Hubungan Gatot dengan Soedirman selama ini terkenal cukup baik. Sudirman menghargai Gatot yang lebih tua usianya dan lebih berpengalaman sebagai militer. Begitu pula Gatot menghargai Sudirman walaupun masih muda, sebagai atasannya. Gatot menulis surat pribadi kepada Sudirman. Ia meminta agar Panglima besar itu bersedia kembali ke Yogya, demi untuk kepentingan perjuangan selanjutnya. Antara lain dikatakannya, ”Ini kali sebagai saudara tua dari adik, minta ditaati.”Surat Gatot inilah yang berhasil melunakan hati Soedirman.
Sesudah pengakuan kedaulatan, Kolonel Gatot Subroto diserahi tugas sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Tengah berkedudukan di Semarang. Dalam kedudukan ini ia melancarkan operasi-operasi militer untuk memulihkan keamanan yang diganggu oleh pemberontak dibawah pimpinan Amir Fatah dan Kyai Somolangu.
Dua tahun kemudian, tahun 1952, Gatot dipindah ke Ujungpandang. Jabatan yang dipangkunya ialah Panglima Tentara dan Teritoriun VII Wirabuana. Di sini pun ia terlibat dalam tugas-tugas menumpas gangguan keamanan akibat pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di bawah pimpinan Kahar Muzakkar. Selain melaksanakan operasi tempur, ia pun melancarkan kampanye untuk menghimbau para pemberontak agar masuk kembali ke dalam TNI. Hasilnya cukup meggembirakan. Banyak diantara pemberontak yang sadar. Mereka dilantik sebagai anggota TNI dan disalurkan kebidang pekerjaan yang mereka senangi.
Tetapi kebijaksanaan yang ditempuh Gatot tidak diterima oleh semua pihak, dua orang anggota Parlemen, Bebasa Daeng Lalo dan Rondonuwu, mencela kebijaksanaan itu dan mengirim surat ke Parlemen. Mereka menuduh Gatot telah menyalahi kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pemerintah pusat.
Masalah itu menjadi berlarut-larut. Bersamaan dengan itu anggota Parlemen membicarakan pula kebijaksanaan yang di tempuh oleh pimpinan Angkatan Darat. Pihak Angkatan Darat yang tersinggung karena masalah intern mereka dicampuri ; oleh Parlemen, yang sebagian besar anggotanya orang-orang yang selama Perang Kemerdekaan bekerjasama dengan Belanda, melancarkan protes. Tanggal 17 Oktober 1952 terjadilan demontrasi di depan istana. Pimpinan Angkatan Darat meminta kepada Presiden Sukarno agar Parlemen dibubarkan. Tuntutan itu ditolak.

Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55 tahun. Sebenamya pemerintah sudah merencanakan jabatan baru bagi Gatot Subroto yakni sebagai Penasehat Militer Presiden, jika masa jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sudah berakhir.
Jenasah Gatot Subroto dimakamkan di Ungaran, sesuai dengan amanatnya. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa Sidomulyo, kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Atas jasa-jasanya yang begitu besar bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan SK Presiden RI No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar