Rabu, 05 Maret 2014

POLISI HOEGENG (yang membikin malu polisi jaman sekarang)



seorang mantan presiden pun pernah berkata: "Hanya ada 2 polisi yang jujur. Polisi tidur dan Polisi Hoegeng"


KOMPAS.com — Heboh berita rekening gemuk milik para jenderal polisi menjelang Hari Bhayangkara, kita menjadi rindu dengan sosok sederhana Pak Hoegeng, mantan Kapolri yang mendapat tempat di hati rakyat.
Semasa dinas tidak pernah memiliki mobil pribadi sehingga ketika pensiun ke mana-mana harus naik bus kota. Saingannya adalah Bung Hatta, seusai mundur dari kursi wakil presiden di rekeningnya cuma ada Rp 200, sementara uang pensiunnya tidak mencukupi untuk membayar langganan listrik rumah tinggalnya.
Sampai akhirnya Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin harus turun tangan membantu mengatasi tagihan Pajak Bumi dan Bangunan rumah kedua tokoh bangsa itu. Kedua figur panutan itu mungkin hanya dilahirkan sekali dan miskin pengikut.

Tidak bekerjanya sistem meritokrasi dalam pemerintahan dan perekrutan politik yang kotor hampir mustahil orang yang jujur dan taat asas memiliki karier yang baik, malah senantiasa tersisih oleh mereka yang sanggup membeli jabatan.

Dari jabatan yang pernah diembannya, di keimigrasian, kepolisian, pajak, serta Bea dan Cukai, sesungguhnya terbuka peluang bagi Pak Hoegeng untuk memperkaya diri. Coba saja tengok kekayaan mantan Dirjen Pajak di zaman Orde Baru atau pegawai seperti Gayus.
Hubungan patronase antara pejabat dan pengusaha dalam bisnis bukan saja menimbulkan distorsi ekonomi, tetapi juga melahirkan rezim korupsi yang sulit diatasi karena merupakan perkawinan kekuasaan politik dan uang.
Dari cuplikan peristiwa yang saya baca dari kliping koran lawas, Pak Hoegeng memang anomali dari keadaan itu. Ketika menjabat Kadit Reserse Kriminal Kepolisian Sumut, beliau sudah mengusir seorang pengusaha yang menjadi ketua penyambutan dirinya yang menghadiahinya sebuah mobil dan peralatan rumah dinas.
Kapolri Hoegeng juga pernah meminta istrinya untuk mengembalikan satu peti peralatan rumah tangga modern dari seorang pengusaha yang sedang berperkara dan menutup kios bunga milik istrinya karena khawatir menimbulkan konflik kepentingan.
Semasa menjadi Menteri Iyuran Negara, beliau menolak proposal dari seorang kontraktor untuk merenovasi rumah tinggalnya yang dinilainya tidak layak. Di tangan Pak Hoegeng, semua pelaku kejahatan yang ditanganinya tidak berkutik.
Sekadar contoh, pengusaha Robby Tjahyadi, perwira polisi dan militer yang terlibat dalam penyelundupan mobil mewah terbesar saat itu, adalah satu jaringan kejahatan yang dibabatnya. Penyelundupan pada awal tahun 1970-an telah menjadi masalah yang pelik karena melibatkan aparat berwenang. Namun, keberanian Pak Hoegeng membongkar mafia penyelundupan itulah yang diisukan menjadi alasan pemberhentiannya di tengah jalan dari jabatan Kapolri oleh Presiden Soeharto.
Kelebihan Pak Hoegeng, beliau tidak bersih untuk dirinya sendiri, tetapi juga menebarkan inspirasi dan motivasi untuk melakukan perubahan di lingkungan tempat kerjanya. Beliau memprakarsai pertemuan-pertemuan dan lobi-lobi antikorupsi secara reguler, dengan melibatkan para pejabat sipil dan militer serta tokoh masyarakat.
Sesungguhnya, Pak Hoegeng saat itu telah menerapkan strategi good governance, yang sejak awal 1990-an menjadi ideologi global untuk melawan korupsi, yaitu diperlukan adanya aksi bersama dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat warga (civil society).
Pola hidup yang bersahaja, hampir apa adanya, barangkali yang membebaskan tokoh seperti Pak Hoegeng tidak terjebak dalam penyakit hedonisme seperti pejabat dan politisi saat ini yang menyeret mereka dalam gaya hidup yang menghalalkan segala cara, termasuk menanggalkan harga diri.
Pascareformasi, polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, mulai dari urusan pelayanan administrasi kendaraan bermotor, izin keramaian, hingga bergesekan dengan urusan dunia usaha, maka wajar godaannya juga sangat besar.
Kita patut acungkan jempol dengan reformasi dalam pelayanan administrasi kendaraan bermotor yang sudah memenuhi kaidah-kaidah pelayanan umum yang baik. Terbongkarnya keterlibatan polisi dalam mafia pajak, dan kini muncul lagi masalah rekening milik perwira tinggi yang mencurigakan, padahal beberapa tahun lalu PPATK juga pernah melaporkan 15 perwira yang memiliki puluhan rekening serupa, mengindikasikan ada persoalan besar menyangkut integritas aparat kepolisian kita.
Tentu ini tantangan bagi pimpinan Polri apakah atas nama solidaritas korps ingin mengubur dalam-dalam masalah ini, atau mengundang PPATK dan KPK untuk mengusut kebenaran rekening itu guna memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Presiden dan DPR barangkali harus menangkap gejala ini sebagai saat yang tepat untuk melakukan pembenahan kepemimpinan besar-besaran di tubuh Polri

Tolak Mobil dan Motor

Selaku pejabat tentu Jenderal Hoegeng banyak yang mendekati. Bermacam-macam cara untuk merebut hati Hoegeng. Ada yang mengirim hadiah mobil hingga motor. Tapi hadiah yang dikirimkan pengusaha itu dia tolak.

Hoegeng yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Presidium tak mengambil hadiah itu. Menurut Sudharto atau Dharto sekretarisnya, Hoegeng hanya menyimpan dan melupakan surat pengambilan mobil itu.

Demikian juga kala menjabat Kapolri. Diceritakan Didit, anak lelaki Hoegeng. Saat dia pulang ke rumah, ada dua buah motor yang masih dibungkus di halaman rumah. Didit sempat berharap, sang ayah mau menerima hadiah itu.

Tapi Hoegeng tetaplah seorang Hoegeng. Kala dia sampai di rumah, dia memanggil ajudannya dan meminta agar motor itu dikembalikan kepada yang mengirimkan.

"Ini masih jam 16.00, masih ada orang di kantornya. Motor ini dikembalikan lagi ke pengirimnya," jelas Didit menirukan ucapan ayahnya kepada ajudannya.

Tak Mau Dibayari Makan

Jenderal Hoegeng memang pantas diacungi jempol. Bayangkan saat menjabat sebagai Kapolri di era 1966-1971 dia menolak gratifikasi untuk urusan yang kecil. Hoegeng marah besar kala ada yang membayarinya makan di restoran.

Hoegeng meninggal dunia pada 2004 lalu. Namun aksi dia terus menjadi legenda. Gus Dur bahkan menyebutnya polisi yang tak bisa disuap.

Berdasarkan pengakuan putra Hoegoeng, Didit, Hoegeng tak pernah mau makan di restoran.

Ternyata awal mulanya karena ada yang membayari Hoegeng makan di restoran. Saat itu Hoegeng dan keluarga dalam perjalanan ke Bandung, dan mampir ke sebuah restoran. Nah, saat membayar itu sang kasir menolak menerima uang bayaran, karena sudah ada yang traktir.

"Papi marah besar, tetapi orang yang membayar sudah tak ada lagi. Sejak itu, Papi tak mau lagi makan di restoran mana pun," ujar Didit.

Tak hanya itu saja, Didit juga bertutur, ayahnya marah saat mobil dinas Polri dipakai olehnya. Hoegeng merasa bersalah kalau kendaraan dinas dipakai untuk urusan pribadi.

"Meskipun pelat nomornya bukan pelat dinas ayahmu, tetapi mobilnya adalah mobil dinas Polri. Polisi di jalan itu tahu itu mobil siapa," urai Didit menirukan ucapan ayahnya.

Bingkisan dari Anak Buah

Mungkin sudah lazim seorang Kapolri menerima bingkisan dari anak buahnya. Apalagi kalau melakukan kunjungan ke daerah. Tapi tidak bagi Hoegeng Iman Santoso. Kapolri pada 1966-1971 ini menolak bingkisan dari kepala polisi daerah yang notabene anak buahnya.

"Saat Papi melihat bingkisan-bingkisan, ia turun lagi dari pesawat dan minta bingkisan-bingkisan itu diturunkan. Papi tidak mau terbang sebelum barang-barang tersebut disingkirkan dari pesawat," jelas Didit, putra Hoegeng menceritakan perilaku ayahnya.

Hoegeng menolak gratifikasi dari hal yang kecil.

Didit bercerita, setiap melakukan kunjungan para kepala polisi daerah memang selalu memberikan bingkisan berupa makanan, buah-buahan, atau yang lainnya. Dan bingkisan itu sudah diletakkan di pesawat sebelum terbang pulang. Dan Hoegeng menolak itu semua.

Hoegeng juga selalu bepergian dengan pesawat kepolisian kala ke daerah. Dia tak mau memakai pesawat komersil karena khawatir membebani anggaran negara.

Hoegeng menolak fasilitas pengawalan sejak menjadi menteri sekretaris presidium, kemudian menjadi kepala jawatan Imigrasi, hingga saat dia menjadi Kapolri. Coba bayangkan bila banyak pejabat kita bermental seperti Hoegeng.

"Hoegeng tidak memerlukan pengawal pribadi di rumah dan di kantor," kata Hoegeng kepada sekretarisnya Sudharto atau Dharto seperti dikutip dari buku Suhartono 'Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan' terbitan PT Kompas Media Nusantara, Senin (18/11/2013).

Saat itu Dharto baru menjabat sebagai sekretaris Hoegeng dan baru saja menemui Kepala Biro Administrasi dan Organisasi Setneg, Sarojo Hanggoro. Dharto diberitahu hak-hak Hoegeng oleh Hanggoro, dan dia menyampaikannya kepada Hoegeng.

TOLAK PENGAWALAN

"Hidup Hoegeng berserah saja, tak perlu dikawal-kawal. Kalau Hoegeng mau mati ya mati saja. Tidak usah pakai pengawa atau penjaga rumah," tambah Hoegeng.

Menurut dia, pengawal yang berjaga di depan pos jaga di rumah pun tak diperlukan. Pengawal itu justru akan membuat teman-temannya sungkan bersilaturahmi.

"Nanti teman-teman, tidak ada yang berani ke rumah karena harus lapor-lapor dulu," tutur Hoegeng.

KAPOLRI HOEGENG MENOLAK MOBIL DINAS

Satu kisah menarik dari seorang Hoegeng adalah saat menjabat sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, Hoegeng ternyata menolak mobil dinas. Diketahui Jenderal Bintang Empat itu sebenarnya mendapat jatah dua mobil dinas, masing-masing satu mobil sebagai menteri dan lainnya untuk keluarga.
Pada waktu itu Hoegeng sudah mendapatkan satu mobil dinas. Tetapi untuk keluarganya, Hoegeng belum menerimanya. Adapun mobil dinas saat menjabat Menteri Iuran Negara sudah dikembalikannya setelah berganti jabatan.
Hoegeng kemudian ditawari mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965 untuk keluaganya. Ternyata, Hoegeng menolaknya. Apa alasannya?
Ia mengaku telah memiliki dua mobil dinas yakni mobil Jeep Willis dari institusinya kepolisian serta lainnya sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet
"Hoegeng mau simpan di mana lagi, Mas Dharto. Hoegeng tidak punya garasi lagi," kata Hoegeng kepada sekretarisnya Soedharto Martopoespito.
Namun karena harus diambil sesuai ketentuan Setneg, Hoegeng mengalah. Tetapi mobil itu ternyata tidak diparkir di rumah Hoegeng. "Ya sudah tetapi tolong disimpan di rumah Mas Dharto saja ya, suatu saat Hoegeng perlu, Hoegeng akan pinjam saja," ujar Hoegeng.
Dharto mengaku sempat menjalankan mobil dinas Hoegeng tersebut. Hal itu dilakukan supaya mesin mobil tidak pernah digunakan. Tetapi, Dharto kapok. Nomor plat mobil yang berkode khusus membuat Dharto diberi penghormatan oleh polisi yang kebetulan bertugas di sepanjang jalan.
Menurut sepupu Hoegeng, Moehirman yang rumahnya disebelah rumah Dharto, setiap kali Hoegeng mendapat mobil dinas maka didalam kendaraan itu terdapat tulisan "Mobil Dinas Tidak Boleh Dipinjam".
Moehirman pun bertanya kepada Dharto apakah mobil yang ditaruh di rumahnya juga ditulis seperti itu. Dharto menjawab tidak ada. "Berarti, Pak Hoegeng percaya sama Mas Dharto," katanya.

KISAH JENDERAL HOEGENG MENJUAL SEPATU BEKASNYA, SAKING TAK PUNYA UANG

Saat itu, sopir Hoegeng bernama Aco terlihat murung setelah mengantarkan atasannya ke kantor. Sekretaris Hoegeng, Soedharto Martopoespito lalu menanyakan Aco apa yang sedang terjadi.
Ternyata, Aco sedih dan bingung karena belum dapat melaksanakan perintah Hoegeng.
Aco dimintai tolong oleh Hoegeng untuk menjualkan sepatunya ke pasar loak di Pasar Rumput, Manggarai. Namun, sampai siang sepatu itu tidak laku. Sebab sepatu itu bukan merek terkenal dan ukurannya terlalu besar.
ISTIMEWA Jenderal Hoegeng Iman Santoso saat menjabat Kapolri.

Dharto pun mencoba membantu Hoegeng. Setelah mengobrol dengan Aco, Dharto lalu berinisiatif ikut menjual sepatu tanpa setahu Hoegeng.
Ia lalu mencoba menghubungi sekretaris Menteri Negara Kombes Pol Boegie Soepeno, AKBP Totok Soesilo. Karena ingin menolong, Totok kemudian membeli sepatu Hoegeng dengan harga cukup mahal yakni Rp 1.200. Nilai itu setara gaji Dharto sebulan saat itu.
Namun, Totok meminta agar Dharto tidak memberi tahu Hoegeng. Pesan itu juga kemudian diteruskan Dharto kepada Aco agar tidak memberi tahu siapa yang membeli sepatu Hoegeng.
Esoknya, Hoegeng datang ke kantor dan memeluk Dharto sambil menyampaikan rasa terima kasih.

"Terima kasih ya, Mas Dharto. Ampera... ampera (Amanat Penderitaan Rakyat)," kata Hoegeng.
SUMBER

Tolak Rumah Dinas

Walau menjabat Kapolri, Jenderal Hoegeng tak mau menempati rumah dinas di Jl Pattimura, Kebayoran, Jaksel. Hoegeng lebih memilih rumah yang dia bayar dari gajinya di Jl Madura, Menteng, Jakpus.

Hoegeng menempati rumah di Jl Madura itu sudah lama, sejak dia menjadi menteri, kemudian menjadi kepala Imigrasi, hingga Kapolri. Tawaran rumah dinas dan tanah ditolaknya, dia lebih memilih rumah sewaan itu.

Hoegeng tak mau menempati rumah dinas. Kala itu, dia bercerita kepada sekretarisnya, Sudharto.

"Wah, Hoegeng tidak mau nanti jika sudah pensiun, Hoegeng tidak punya rumah tinggal. Jadi Hoegeng tetap akan tinggal di rumah sewaan saja," terang Hoegeng kepada Dharto.

Dharto juga bercerita di buku itu, dia pernah dipanggil ke rumah Hoegeng di Jl Madura itu. Saat itu, Dharto bertugas di Sekretariat Negara sedangkan Hoegeng sudah menjadi Kapolri. Curhat Hoegeng, sang pemilik rumah sudah tak mau menerima uang sewa kala Hoegeng menjadi Kapolri.

PENSIUN KAPOLRI HOEGENG HANYA Rp. 10.000


Kepala Kepolisian RI periode 1966-1971 Hoegeng Imam Santoso ternyata pernah menerima uang pensiun hanya Rp 10.000 per bulan. Pensiunan itu diterimanya selama puluhan tahun, tepatnya hingga tahun 2001.
"Sampai 2001 uang pensiunan bapak (Hoegeng) Rp 10 ribu. Setelah 2001 baru ada penyesuaian jadi sekitar Rp 1 juta," kata putra Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng yang akrab disapa Didit.
Kehidupan Hoegeng dan keluarga melewati masa sulit saat itu. Hoegeng tak punya rekening tabungan dengan saldo berlimpah seperti para perwira Polri saat ini yang disebut memiliki rekening "gendut". Setelah pensiun, Hoegeng beralih profesi menjadi pelukis.
Untuk menghidupi keluarganya, Hoegeng menjual lukisannya. Selama aktif di kepolisian, Hoegeng anti menerima pemberian orang. Ia juga mengembalikan seluruh barang yang digunakan saat menjabat Kapolri. Kisah ini tertuang dalam buku "Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan" yang ditulis wartawan Kompas, Suhartono.
Hoegeng pensiun dini pada usianya yang belum 50 tahun. Padahal, dia dikenal pekerja keras dan bekerja dengan kejujuran. "Beliau pensiun usia 49 tahun, ketika sedang energiknya," kenang Didit.
Sebelum itu, Presiden Soeharto mengusulkan Hoegeng menjadi Duta Besar Swedia, dan sempat ditawari menjadi Dubes di Kerajaan Belgia. Namun, Hoegeng menolak karena memilih tetap mengabdi pada Tanah Air.
Saat itu Presiden Soeharto dinilai ingin "membuang" Hoegeng ke luar Indonesia. Hoegeng akhirnya diberhentikan sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971. Padahal, saat itu usia Hoegeng masih 49 tahun.
Pengganti Hoegeng ialah Jenderal Polisi Moh Hasan. Usia Hasan saat itu justru lebih tua dari Hoegeng, yaitu sekitar 53 tahun. Hoegeng kemudian meninggal dunia pada 2004 karena menderita stroke. Sang istri, Meriana Roeslani, lalu menerima 50 persen uang pensiunan Hoegeng.
"Sekarang Ibu menerima 50 persen sekitar Rp 500 ribuan lah," kata Didit.
Hoegeng memang tak memiliki tanah dan rumah yang tersebar di sejumlah daerah. Ia juga tak memiliki mobil-mobil mewah yang berjajar di garasi rumahnya. Namun, Hoegeng memiliki "harta" yang tak dimiliki semua polisi, yaitu kejujuran.



Coba marilah kita tanyakan kepada banyak polisi masa kini yang tegap cakap dan selalu berjaga di sepanjang jalan di Indonesia Raya ini bagaimana pendapat mereka tentang figur seorang Hoegeng

5 komentar:

  1. Mungkin Beliau adalah Polisi yang paling "duluan" masuk Syurga Allah saat di Yaumil hisab ditanya Allah : "berapa banyak hartamu Hoegeng?"
    maka beliau menjawab: Ini ya Allah. (tidak banyak dan terlihat dihadapan mata).
    Allah bertanya lagi : " Dari mana kau dapat dan kemana engkau belanjakan?"
    Beliaupun langsung menjawab : " Ampuni hamba ya Allah. Dari Kas Pensiunan Pegawai POLRI sebesar Rp.500.000,-- dan Hamba belanjakan untuk anak dan Istri ku ya Allah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masuk surganya Allah..., amin ya Rabb

      Hapus
  2. Rindu sosok jujur... Saya buat SKCK aja harus nambah 5000 dari yang seharusnya hanya 30000.

    BalasHapus
  3. Untuk yang lagi galau, yang lagi bosan tidak tahu mau ngapain,
    tenang,,sekarang ada yang akan menghibur kalian sekaligus
    mengisi hari-hari kalian dengan games" online yang pastinya tidak akan
    mengecewakan kalian deh...

    yuk ikutan gabung bersama Pesonasaya.com
    Dapatkan Bonus Rollingan TO Sebesar 0,3 - 0.5% / Hari
    Bonus Referral Sebesar 20% Seumur Hidup

    * Minimal deposit hanya Rp 20.000
    * Minimal tarik dana Rp 20.000
    * Dilayani oleh CS profesional dan ramah
    * 24 jam online
    * Proses Depo & WD super cepat
    * No ROBOT MURNI PLAYER VS PLAYER
    * kamu berkesempatan menangkan Jackpot setiap harinya.

    Info lebih lanjut silahkan hubungi CS 24 Online Setiap hari melalui :
    * PIN BBM : 7A996166
    * WA : +85511817618

    Salam Sukses Pesonaqq.com

    BalasHapus
  4. Sumpah gue nangis baca kisahnya

    BalasHapus