Kamis, 13 Februari 2014

JOHN LIE





John Lie:
"Berdagang Itu Cara Membantu Orang"

Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan kepada Bung Tomo, tokoh pertempuran Surabaya, 10 Novemper 1945. Pemberian gelar pahlawan nasional disampiakan Presiden SBY pada hari peringatan Hari Pahlawan, 10 Nopember 2008. Sudah sejak lama berbagai kalangan mengusulkan gelar tersebut untuk Bung Tomo. Menurut aturan, usulan agar seseprang memperoleh hgelar pahlawan nasional harus datang dari sekelompok orang disertao alasan dan bukti otentik. Usulan tadi diserahkan kepada pemerintah propinsi dari mana si calon berasal. Oleh pemerintah provinsi usulan dikirim ke Departemen Sosial yang kemudian meneliti. Bila oke, usualn diteruskan ke presiden.

Panjang nian proses memperoleh gelar pahlawan nasional. Pada hal si calon penerima gelar belum tentu menghendakinya. Karena ketika yang bersangkutan melakukan tindakan kongkrit yang menunjukkan kepahlawanannya, ia tidak pernah berpikir untuk nanti disebut sebagai pahlawan nasional.

Sampai saat ini belum ada satu pun warga negara Indonesia keturunan Tionghoa berstatus gelar Pahlawan Nasional. Apakah memang tidak ada yang pantas mendapatkan status ini? Atau ada yang pantas, cuma warga Tionghoa berpendapat urusan bisnis lebih penting dari pada repot-repot menempuh jalan panjang mencari dan mengusulkan nama.

Pada tanggal 21 - 23 September 2007 berlangsung Konferensi ISSCO di Beijing. Sejarahwan Asvi Warman Adam menyampaikan makalah berjudul "Why Is There No Chinese National Hero in Indonesia?" Beberapa artikel dan berita di media massa pernah menyebut-nyebut nama seorang Tionghoa yang sekiranya pantas menjadi pahlawan nasioanal. Meski demikian, wacana ini cepat redup.

Tokoh yang disebut-sebut layak menerima gelar pahlawan nasional adalah John Lie, seorang Laksamana Muda TNI AL. John Lie mematuhi anjuran pemerintah untuk mengganti nama Tionghoa menjadi Jahja Daniel Dharma. Namun nama aslinya lebih populer hingga sekarang. John dilahirkan di Manado, 9 Maret 1911 dari ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama Maryam Oei Tseng Nie. Leluhur John berasal dari daerah Fuzhou dan Xiamen yang pada abad ke 18 berlayar sampai ke tanah Minahasa.

Sosok nama John Lie relatif kurang dikenal juga di kalangan warga Tionghoa khususnya generasi mudanya. Buku-buku sejarah resmi terbitan pemerintah yang dipakai di sekolah, tidak menyebut nama dan peran Lie. Penulis buku - Solichin Salam membuat buku buku berjudul "John Lie Penembus Blokade Kapal-Kapal Kerajaan Belanda" yang terbit pada tahun 1988. Kisah perjuanga Lie berjudul "Dari Pelayaran Niaga ke Operasi Menembus Blokade Musuh Sebagaimana Pernah Diceritakannya kepada Wartawan" dimuat dalam buku "Memoar Pejuang Republik Seputar 'Zaman Singapura' 1945 - 1950" yang ditulis Kustiniyati Mochtar, Gramedia Pustaka Utama (2002).

Karena sedikitnya pustaka mengenai Lie, tidak mengherankan namanya semakin redup dimakan lupa. Oleh karena itu usaha M. Nursam menulis buku "Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie" (2008) yang diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta dan Yayasan Nabil, Jakarta, patut diberi penghargaan.

Buku ini dibangun dari berbagai sumber antara lain wawancara dengan keluarga, kerabat dan teman-teman Lie antara lain Laksamana Sudomo, bawahannya semasa di TNI AL. Sealin itu berasal dari wawancara John Lie dengan wartawan dan berita tentangnya yang dimuat di media masa seperti Majalah Life (26 Oktober 1949), Majalah Star Weekly (1956), Majalah Masa dan Dunia (1955), dan Harian Suara Pembaruan (1988).

Artikel berjudul "Guns and Bibles are Smuggled to Indonesia" ditulis oleh wartawan Life bernama Roy Rowan. Oleh M. Nursam artikel ini dimuat seutuhnya. Artikel tersebut ditulis berdasarkan wawancara dengan Lie. Pada 1949 Lie masih menjalankan tugasnya sebagai penyelundup. Dari Sumatera sebagai nahkoda kapal PBB 58 LB ia menembus bl;okade Belanda menuju Singapura, Malaysia dan Thailand membawa hasil bumi Indonesia untuk ditukar dengan senjata yang diperlukan untuk perjuangan melawan Belanda. Lie dicari-cari belanda untuk ditangkap meski lolos. Kapal yang dinahkodainya sering juga disebut The Outlaw.

Memang nama Lie menjadi tersohor karena keberhasilannya menembus blokade Belanda yang jelas peralatannya jauh lebih hebat dari pada milik Angkatan Laut Indonesia. Berkali-kali ia berhasil mengelabui Belanda. Berulang kali Lie selamat dari kejaran kapal-kapal musuh. Orang mengatakan ia tetap selamat dan musuhh tidak bisa menangkapnya karena imannya yang tebal pada Tuhan Yesus Kristus.

Lie hampir setiap hari memegang injil. Pers asing menyebutnya "The Great Smuggler with The Bible". Ia adalah tentara yang taat beribadah. Dilahirkan dari keluarga beragam Budha. Perkenalannya dengan Yesus saat ia bersekolah di iChristelijke Lagere School di Manado. Pada usia 17 tahun Lie maninggalkan tanah kelahirannya menuju Batavia dan kemudian menjadi buruh di pelabuhan Tanjung Priok.

Pada tahun 1929 sampai 1942, Lie bekerja di perusahaan pelayaran Belanda "KPM". Ia berlayar hingga berbagai negara. Proklamasi kemerdekaan memangginya pulang ke Tanah Air dan bergabung dengan Angkatan Laut.

Banyak informasi mengenai Lie di dapat dari sang istri, seorang pendeta dari Manado bernama Margaretha Dharma Angkuw. Meski April tahun lalu ketika wawancara untuk buku tersebut berlangsung, istri Lie sudah berusia 83 tahun, ingatannya masih bagus. Wawancara dengan sumber lain pada umumnya juga berlangsung April 2008.

Pada tahun 1969, Lie pensiun dari dinas militer dan memilih menjadi pengusaha selain aktif di pelayanan sosial dan agama. Buku setebal 327 halaman ini memuat kesaksian mereka yang kenal dengan Lie. Para nara sumber memberikan kesaksian betapa Lie memiliki kepekaan sosial yang dalam dan banyak membantu kaum miskin.

Bisnis yang dijalankannya di masa pensiun, bukan hanya untuk mendatangkan kekayaan bagi diri sendiri. Kepada seorang rekan ia menjawab tujuannya bergerak dalam bisnis hanya satu yakni to reach the Kingdom of God. Rita Tuwasey kepada penulis buku ini menceritakan dalam berdagang John Lie itu etis. "Berdagang itu hanya cara untuk membantu orang lain." kata Tuwasey.

Setelah sakit beberapa lama, sang penyelundup berhati mulia ini dipanggil Tuhan, Sabtu malam 27 Agustus 1988 di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta. Jenasahnya disemayamkan di Panti Perwira, gedung milik TNI AL. Presiden Soeharto datang memberikan penghormatan terakhir.

Jhon Lie (meninggal 27 Agustus 1988) juga tercatat sebagai salah satu pahlawan keturunan Tionghoa. Dilahirkan sebagai Jhon Lie Tceng Tjoan, merupakan anak kedua dari pasangan Lie Kae Tae dan Maryam Oei Tjeng Nie Nio. Jhon generasi ke-5 dari leluhur yang datang dari Fuzhou dan Xiamen yang menetap di Minahasa sejak 1790.




2 komentar:

  1. salut atas penghargaan yang diberikan ini...biar generasi muda mempercontoh kepahlawanan yang dilandaskan Firman Agung....kebenaran dan keadilah ilahi... demi bangsa dan rakyat Indonesia tercinta... NB sedikit koreksi: sang istri, seorang pendeta dari Manado...seharusnya: seorang pendeta GPIB bernama Margaretha Dharma Angkuw, pendeta perempuan pertama lulusan Sekolah Tinggi Jakarta. Maju terus....ora et labora!

    BalasHapus
  2. salut atas penghargaan yang diberikan ini...biar generasi muda mempercontoh kepahlawanan yang dilandaskan Firman Agung....kebenaran dan keadilah ilahi... demi bangsa dan rakyat Indonesia tercinta... NB sedikit koreksi: sang istri, seorang pendeta dari Manado...seharusnya: seorang pendeta GPIB bernama Margaretha Dharma Angkuw, asli Minahasa, bermukim di Jakarta, pendeta perempuan pertama lulusan Sekolah Tinggi Jakarta. Maju terus....ora et labora!

    BalasHapus

    BalasHapus